SEJARAH
Menurut sumber yang terpercaya dari para sesepuh desa dan tokoh masyarakat setempat, konon ceritanya ada daerah pedesaan yang subur makmur, tumbuhan yang menghijau, di atas tanah yang datar ditumbuhi pohon dan semak yang masih lebat, hiduplah sekelompok masyarakat rukun dan damai meskipun penduduk-penduduk dalam kehidupan primitif, Desa “Muneng” orang menyebutnya.
Muneng merupakan desa yang terdiri dari delapan dusun yang masing-masing mempunyai nama dan pendiri (bobak dusun) yang berbeda. Konon zaman dahulu setelah Pangeran Diponegoro diperdaya dan ditangkap oleh Penjajah Belanda, maka anak buahnya atau prajuritnya melarikan diri mencari keselamatan sendiri-sendiri karena tidak ada yang memimpin atau mengesuhi lagi. Dalam pelariannya, ada dua orang Prajurit anak buahnya Pangeran Diponegoro yang berasal dari keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang bernama Kyai Sukromo dan Nyai Windusekti. Prajurit tersebut sampai di suatu tempat yang ditempati dua orang yaitu bernama Kyai Munojo dan Nyai Munah yang merupakan cikal bakal Desa Munengen. Dengan pertemuan itu mereka merasa senang kalau basa jawanya ketemu seneng dan prajurit itu pun menetap di tempat itu. Selang beberapa waktu datanglah seorang musyafir yang singgah ditempat itu, orang itu bernama Kyai Weron yang diterima oleh Kyai Munojo dan Nyai Munah. Kyai Sukromo dan Nyai Windusekti pun senang hati karena Kyai Weron ikut menetap di tempat itu, yang kini diakui masyarakat sebagai bagian dari akal bakal Desa Muneng. Meraka hidup dengan damai dan tenteram. Semakin lama tempat itu semakin ramai disinggahi para musyafirin atau pengembara. Banyak orang yang menetap di tempat itu karena tempat itu subur makmur, bisa di tanami apa saja dan cocok untuk pertanian. Selain itu para penduduk disitu selalu menyambut para pendatang dengan senang hati dan ditanggapi dengan ramah tamah atau setiap bertemu senang atau bahasa jawanya ketemu seneng sehingga tempat itu semakin lama semakin ramai.
Dari keindahan serta keasrian tempat persinggahan itu, maka muncul gagasan dari Kyai Munojo dan Nyai Munah selaku cikal bakal Desa Muneng untuk memberi nama untuk tempat tersebut. Sesuai kesepakatan bersama maka tempat persinggahan tersebut diberi nama “Muneng” yang berarti ketemu seneng (bertemu senang). Hal tersebut dikarenakan tempat itu menjadi pemukiman yang asal musababnya dari pertemuan-pertemuan para musyafirin yang singgah ahirnya pada menetap di tempat itu.
Sampai saat ini dari perjuangan bobak alas yang dilakukan oleh Kyai Munojo, Nyai Munah, Kyai Sukromo, Nyai Windusekti, dan Kyai Weron, masyarakat Desa Muneng sangat bersyukur dengan senantiasa memberikan doa kepada arwah-arwah beliau atau merawat makam-makam beliau sepagai pepunden Desa Muneng serta masyarakat selalu mendoakan dan ziarah kemakam-makam beliau sebagai cikal bakal Desa Muneng,dan menjaga lingkungan supaya tetap indah dan asri dan hidup bersama dengan rukun dan damai saling menolong dengan sesama. Dengan tidak meninggalkan arti dan dari nama Muneng itu sendiri yang di ajarkan oleh para leluhur atau pendiri Desa Muneng atau cikal bakal Desa Muneng yaitu masyarakat Muneng sampai sekarang selalu menyambut para tamu dengan senang hati setiap bertemu senang atau ketemu seneng.
Seiring zaman dan perubahan waktu, dengan tidak meninggalkan ajaran-ajaran para leluhur yang diwariskan ke masyarakat Desa Muneng sekarang sudah berubah. Justru para warga Desa Muneng yang dimotori oleh para perangkat desa, tokoh, masyarakat dan pemuda, bersatu untuk mengubah Muneng menjadi ikon baru yang lebih maju dan bersatu di era modern. Dengan demikian, maju dan bersatulah masyarakat Desa Muneng di era modern dengan tidak meninggalkan nilai-nilai luhur yang diwariskan para leluhur.